Problematika Kesehatan Mental: Pornografi Mengancam Pribadi, Relasi, dan Komunitas
Oleh: Margaretha*
Semakin banyak persoalan relasi yang terjadi, baik dengan diri sendiri, juga antar pribadi, seperti antar kekasih, suami-istri, bahkan antara manusia di dalam komunitas. Biasanya, saya mencoba memahami persoalan satu-persatu, serta faktor-faktor unik yang mempengaruhi kondisi masing-masing. Namun, setelah melihat dan membaca berbagai riset tentang pornografi, saya memahami, bahwa ketergantungan pornografi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya persoalan pribadi dan antar pribadi. Salah satu ancaman di kehidupan modern dan global ini adalah pornografi. Pornografi dapat merusak kemampuan individu menjalin koneksi/keterhubungan dengan manusia lain yang menjadi tulang punggung lahirnya keluarga dan komunitas. Artinya, pornografi beresiko menghancurkan pribadi, relasi dan komunitas kita.
Pornografi adalah supernormal stimulus
Pada tahun 2016, dilaporkan sekitar 92 milyar video porno di tonton, dan tahun 2018 naik menjadi lebih dari 109 milyar video dari satu situs pornografi bernama Pornhub (Fight the new drugs, 2020). Tahun 2019, akses pornografi di Pornhub terhitung sekitar 5,8 milyar jam. Pada saat ini, pornografi adalah bagian hidup manusia modern.
Pornografi adalah gambar, media, tulisan yang membangkitkan rangsangan seksual. Secara khas, pornografi akan menampilkan stimulus seksual dibuat secara berlebih-lebih (lebih intensif, lebih lama, lebih kuat, lebih bervariasi, disertai dengan fantasi yang mungkin sulit dilakukan oleh pasangan tipikal). Tampilan seksual berlebih-lebih ini dibuat dengan edit dan rekayasa tertentu, atau seks yang ditampilkan adalah tidak alamiah, tidak sebenarnya. Pornografi adalah stimulus supernormal (supernormal stimulus) yang sangat menarik bagi manusia kebanyakan.
Tahun 1950an, peneliti Nikolaas Tinbergen melihat di alam, ada burung betina yang lebih memilih mengerami telur yang besar dan warna yang lebih cantik-menonjol walaupun itu bukan telur miliknya; bahkan akhirnya si burung meninggalkan telur miliknya yang warnanya kurang bagus dan tidak dierami. Si burung lebih memilih merawat dan mengasuh (caring and parenting) telur yang supernormal. Lalu, Tinbergen melakukan eksperimen dampak stimulus supernormal pada perilaku kawin kupu-kupu. Ia membuat kupu-kupu kertas dengan warna yang kuat menonjol, lalu menaruhnya di antara kupu-kupu jantan dan betina. Ia menemukan bahwa kupu-kupu jantan beramai-ramai lebih memilih kawin dengan kupu-kupu kertas dengan warna yang menonjol dan mengabaikan kupu-kupu betina alami yang ada di sekitarnya. Kupu-kupu jantan lebih memilih supernormal stimulus untuk kawin (mating).
Melanjutkan dari riset Tinbegern ini, peneliti Deirdre Barrett menyimpulkan stimulus supernormal adalah versi stimulus yang dilebih-lebihkan sehingga memiliki kemampuan yang lebih kuat untuk memunculkan respon/perilaku instingtual jika dibandingkan dengan kemampuan stimulus alami/normal. Dampak penggunaan stimulus supernormal adalah stimulus normal menjadi kurang/tidak diminati. Inilah yang terjadi dengan pornografi, dimana seks digambarkan secara berlebih-lebih sehingga menarik minat manusia yang menontonnya. Stimulus seks supernormal akan lebih kuat pengaruhnya untuk memunculkan respon seksual bagi yang menontonnya.
Jika konsumsi pornografi dilakukan secara rutin, akhirnya seks alamiah tidak lagi menjadi menarik dan orang akan lebih memilih mengkonsumsi stimulus super pornografi. Pornografi telah menciptakan porno-industri. Porno tidak lagi hanya dinikmati dalam bentuk cerita, media dan gambar, namun juga diciptakan berbagai peralatan seks (sex tools/toys) dan boneka seks (sex dolls). Semuanya menawarkan stimulus supernormal dalam memancing respon seksual manusia.
Pada masa kini, stimulus supernormal telah digunakan dalam merubah perilaku makan (junk food adalah stimulus super karena dibuat lebih kuat rasa asin/manis/gurih untuk memunculkan ketagihan pada rasa kuat seperti itu).
Kecantikan (operasi plastik adalah cara manusia membuat bagian tertentu tubuhnya seperti hidung atau payudara menjadi stimulus supernormal agar menarik minat orang lain melihatnya).
Industri hiburan (gambaran drama kehidupan yang dibuat-buat/berlebih-lebih menjadi digemari untuk ditonton), video games (games yang menampilkan kekerasan yang dilebih-lebihkan agar menarik dan meningkatkan adrenalin), dan masih banyak lagi.
Apakah kita sadar telah menjadi konsumen stimulus supernormal? Bagaimanakah dampaknya pada diri anda?
Pornografi masa pandemic
Dalam masa pandemi global ini, tingkat karantina dan pembatasan interaksi sosial menciptakan perasaan kesepian, isolasi dan stress; sebagai akibatnya konsumsi pornografi meningkat tajam. Pornhub sebagai salah satu situs pornografi terbesar melaporkan mengalami peningkatan penggunaan secara global sekitar 11% dari Februari ke Maret 2020 (Mestre-Bach dkk., 2020). Di negara-negara di mana situs pornografi bisa diakses secara gratis ditemukan peningkatan penggunaan yang signifikan berkisar 4-24% di tahun 2020 (Mestre-Bach dkk., 2020). Akses pornografi biasanya dilakukan sebagai bagian dari masturbasi (Solano, Eaton, & O'Leary, 2020).
Faktor kepribadian juga bisa mempengaruhi penggunaan pornografi intensif, misalkan, tingkat konsumsi pornografi yang tinggi lebih dilakukan orang yang tergolong pencari sensasi, memiliki ketertarikan terhadap pengalaman emosi seksual (ada yang sangat menyukai - erotophilia, ada juga yang takut menghindari - erotophobia), dan memiliki ciri narsisisme (Grubbs dkk., 2019; Zattoni dkk., 2020). Selain itu, konsumsi pornografi juga dilakukan untuk memunculkan hasrat seksual dan dalam rangka memperkuat aktivitas seksual, atau juga karena bosan sehingga mencari hal baru di pornografi (Zattoni dkk., 2020).
Orang-orang yang mengalami stress juga bisa memilih mengkonsumsi pornografi secara berlebih, dimana pornografi digunakan sebagai cara cepat untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman yang tengah dirasakannya (Paul & Shim, 2008).
Dari berbagai data di atas, dapat kita lihat bahwa berbagai tantangan dan tekanan hidup yang meningkat di masa pandemi ini membuat sebagian orang memilih untuk mengkonsumsi pornografi, bahkan bisa jadi secara berlebihan. Konsumsi pornografi secara berlebihan dapat merusak diri, relasi intim yang kita bangun, bahkan juga berdampak pada kehidupan bermasyarakat.
Pornografi merusak pribadi
Mayoritas pengguna pornografi adalah laki-laki, namun perempuan pengguna pornografi juga semakin bertambah (di tahun 2016 tercatat 68% laki-laki dan 13,6% perempuan). Pornografi juga diakses oleh anak, dimana 93% anak laki-laki dan 62% anak perempuan melaporkan pertama kali melihat pornografi di masa remaja awalnya (sekitar 11-15 tahun). Di masa kini, dimana pornografi semakin mudah diakses lewat handphone dan tablet, bahkan gratis, usia pertama kali anak melihat pornografi menjadi lebih muda, sekitar 11 tahun (Fight The New Drug, 2020)
Melihat stimulus supernormal akan berpotensi mengalami ketergantungan atau kecanduan. Jika usia pertama kali melihat pornografi sangat muda, maka kemampuan kendalinya masih lemah; sebagai akibatnya, pengguna muda akan menjadi lebih beresiko berkembang menjadi orang yang ketergantungan/kecanduan pornografi atau memiliki kebiasaan merusak yang bertahan sepanjang hidup (life-long toxic habit).
Penelitian neurosains menemukan bahwa bagian otak yang aktif ketika orang menyaksikan pornografi mirip dengan aktivitas otak orang yang sedang kecanduan alkohol, kokain dan nikotin (Love dkk., 2015; Your brain on porn, 2020). Inilah yang membuat menonton pornografi beresiko memunculkan gangguan ketergantungan pornografi (porn addict) dan kecanduan seks (sex addict).
Kecanduan pornografi akan muncul dalam beberapa bentuk:
1.Penggunaan pornografi dilakukan secara berlebihan, bahkan individu mulai merasa tidak bisa mengendalikan diri dalam konsumsi pornografi.
2.Penggunaan pornografi mulai merusak fungsi hidup sehari-hari lainnya, seperti bekerja, sekolah, lalai pada tugas dan tanggungjawabnya.
3.Pengguna terus mengkonsumsi pornografi walaupun mengalami persoalan sebagai dampak kecanduannya tersebut, misalkan mulai muncul permasalahan fisik - kurang mampu merawat diri, psikologis - depresi atau stress, sosial - persoalan pernikahan.
Pecandu pornografi juga akan selalu mencari stimulus baru (video baru, artis baru, model/gaya baru) untuk memenuhi tuntutan kecanduannya.
Pornografi merusak relasi
Pasangan suami istri yang dikenal sebagai konselor pernikahan, John dan Julia Gottman (2016) menyatakan bahwa salah satu faktor yang ditemukan merusak komitmen relasi dan pernikahan adalah pornografi. Pornografi adalah stimulus supernormal yang membuat seks normal malah menjadi tidak menarik lagi. Mereka menyatakan, jika salah satu pasangan mengkonsumsi rutin pornografi yang disertai dengan masturbasi, hal ini dapat mengakibatkan menurunnya frekuensi seks dan kepuasan pernikahan pada kedua pihak pasangan.
Pasangan Gottman menguraikan bahwa pornografi dapat merusak keintiman dalam relasi antar pasangan dengan 4 cara (Gottman, 2016).
Pertama, keintiman adalah cara pasangan berkomunikasi dan saling terhubung. Tapi jika salah satu terikat/ketergantungan dengan pornografi yang disertai dengan masturbasi, maka si pengguna pornografi akan mengurangi/menghindari interaksi intim dengan pasangan alaminya. Kelamaan, orang yang tergantung denton pornografi akan lebih memilih masturbasi dengan bantuan pornografi daripada intim dengan pasangannya.
Kedua, ketika menonton pornografi, pengguna memegang kendali atas pengalaman seksualitasnya (memulai, mengakhiri seks dikontrol oleh keinginan pribadi). Hal ini berbeda dengan pengalaman seksual bersama pasangan, dimana kendali pengalaman seksual dilakukan bersama. Akibatnya, pengguna pornografi memiliki ide yang salah/tidak realistis, bahwa seks harus berada dalam kendalinya. Dampaknya, pasangan dapat merasa tidak terlibat/tidak dilibatkan dalam aktivitas seks bersama. Pengguna pornografi menjadi tidak peka terhadap kebutuhan pasangannya.
Ketiga, pengguna pornografi cenderung berpikir secara salah bahwa pasangannya harus selalu segera siap melayaninya secara seksual (sebagaimana digambarkan dalam pornografi, seks bisa instant tanpa ada awalan atau pertimbangan perasaan atau kondisi pribadi pasangan). Padahal dalam relasi berpasangan, untuk bisa mengalami keintiman perlu kondisi perasaan yang positif yang harus diupayakan oleh bersama. Misalkan, ketika marah/sedih, pasangan normal akan sulit bisa intim, alamiahnya keintiman perlu diperjuangkan bersama dengan upaya memperbaiki relasi lalu kembali bisa melakukan keintiman dan interaksi seksual. Tapi pada orang yang ketergantungan pornografi, pasangannya yang perasaannya sedang marah/sedih dan tidak bisa intim denganya justru menjadi tidak menarik, sulit dan menyebalkan, lalu ia akan lebih memilih mengganti keintiman dengan pasangan alaminya menjadi masturbasi dengan pornografi atau sex doll.
Keempat, pengguna pornografi merasionalisasi bahwa penggunaan pornografinya harus diterima oleh pasangannya karena ia tidak selingkuh dengan orang lain. Sebagai akibatnya, jika konsumsi pornografi selalu disertai dengan masturbasi, kelamaan keinginan untuk intim bersama pasangan akan perlahan hilang dan tergantikan dengan pornografi dan peralatan porno (sex tools/sex doll) sebagai stimulus supernormal.
Menurut Gottman, sebenarnya jika pornografi digunakan secara proporsional oleh pasangan untuk membangun komunikasi sehat tentang seks dan mengembangkan kehidupan seks pernikahan, maka pornografi bisa memberikan dampak positif dalam kehidupan berpasangan. Namun menurut mereka, kenyataannya hal seperti ini jarang bisa terjadi. Pornografi adalah stimulus supernormal, dimana konsumsi pornografi yang sering dan disertai dengan masturbasi justru ditemukan lebih banyak menghancurkan kualitas dan kuantitas keintiman antar pasangan.
Pengguna pornografi pun ditemukan bisa mengalami disfungsi seksual (pada laki-laki disfungsi ereksi - erectile dysfunction) ketika bersama pasangan alaminya, tapi tidak jika mengkonsumsi pornografi (Weiss, 2016). Pornografi membuat penggunanya semakin kehilangan kedekatan emosional dengan pasangannya, bahkan pada titik tertentu, ia bisa menggangap tidak membutuhkan pasangannya. Kehilangan keintiman dan keterhubungan inilah yang damat memunculkan perilaku bermasalah dalam relasi intim.
Beberapa persoalan relasi yang ditemukan terkait dengan pornografi seperti: kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran pasangan, perselingkuhan, rendahnya kepuasan pernikahan, depresi dan persoalan psikologis lainnya, serta perceraian. Inilah dampak buruk pornografi pada relasi.
Pornografi merusak komunitas
Komunitas dibangun dari relasi. Pornografi dapat mengikis
kemampuan manusia untuk mengelola diri, kesulitan membangun dan mempertahankan
relasi, bahkan merusak keluarga. Sebagai akibatnya relasi-relasi yang
seharusnya menjadi pondasi dapat hancur dan mengancam keberlanjutan komunitas.
Pornografi adalah ancaman bagi komunitas karena mengikis moral, menghancurkan
relasi, serta menciptakan marginalisasi.
Pornografi dan banalisasi kekerasan seksual
Konsumen pornografi perlu memahami asal video yang dinikmatinya. Penelitian oleh Griffith dan kolega (2012) di pusat industri pornografi di Los Angeles, Amerika Serikat terhadap 176 aktris video porno. Mereka menemukan sebagian besar video dibuat secara komersil, dimana aktris melakukannya demi mendapatkan uang (53%), seks (27%), perhatian (16%), serta kesenangan (11%). Namun, ada 1% video dibuat dengan pemaksaan dan kekerasan.
Kenyataannya, tidak semua video porno dibuat secara sukarela. Seorang perempuan bernama Rose Kalemba mengalami penculikan, pemerkosaan dan penganiayaan berat di usia 14 tahun oleh tiga orang laki-laki (Mohan, 2020). Rose diculik, dipukuli, ditusuk, diperkosa selama 12 jam, dan kejadian itu direkam pelaku. Lebih buruknya, beberapa bulan kemudian, ia menemukan video pemerkosaannya (dimana dia dalam keadaan tidak sadar, baju berdarah dan diperkosa) ditayangkan di situs Pornhub. Rose harus berjuang keras meminta Pornhub berhenti menayangkan video tersebut.
Selain
kasus Rose, banyak juga video porno yang disebarluaskan di media sosial dengan
latar belakang balas dendam (revenge pornography). Seseorang
menyebarluaskan rekaman intimnya tanpa persetujuan pasangannya; dan ini
dilakukan karena konflik dan niat mempermalukan pasangannya.
Kepekaan kemanusiaan orang yang mengkonsumsi pornografi bisa berkurang. Mereka
menikmati pemerkosaan yang jelas-jelas bukan tampilan seks sehat dan normal.
Bisa dibayangkan bagaimana sikap dan perilaku seks bisa rusak karena terbiasa
menyaksikan tayangan pornografi menyimpang seperti itu.
Pemerkosaan
secara moral adalah salah, bukan seks sehat. Menikmati menyaksikan seks yang
dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa persetujuan kedua belah pihak (non-consensual)
dan disertai kekerasan berpotensi mengakibatkan penyimpangan seksual, terlebih
bagi konsumen yang sudah ketergantungan pornografi.
Refleksi: apa yang bisa saya pelajari dari melihat tayangan seks non-consensual?
Pornografi dan marginalisasi
Perlu dipahami, bahwa industri pornografi saat ini melakukan marginalisasi pada perempuan, etnis minoritas dan orang cacat. Sikap pengguna pornografi atas mereka yang termarginalisasi bisa cenderung negatif. Sebagai akibatnya, perilaku buruk bisa dimanifestasikan terhadap orang-orang yang digambarkan marginal ini.
Banyak pornografi menampilkan perempuan sebagai murahan, sangat penurut dan mau melakukan apapun (submissive), bodoh dan mudah dimanipulasi, serta digunakan sebagai obyek seks dan kekerasan. Melalui pornografi, pengguna laki-laki bisa mengembangkan sikap yang salah tentang perempuan dan akhirnya melakukan perilaku yang merendahkan perempuan.
Mereka berpandangan bahwa perempuan "sejati" adalah perempuan yang harus siap dikendalikan seutuhnya oleh pasangannya (misalkan, perempuan yang tidak bisa diatur akan dikenakan kekerasan verbal atau dapat ditinggalkan karena dianggap tidak kompeten menjadi perempuan). Perempuan juga akan dituntut harus selalu tampil cantik dan seksi serta siap melayani (seperti yang digambarkan di pornografi).
Perempuan adalah obyek seks (misalkan, sering bercanda dan berkomentar kotor tentang bagian tubuh perempuan, berperilaku yang mengobyektifikasi perempuan sebagai pemuas seks tanpa melihat pribadinya sebagai manusia) maka harus bisa memuaskan pasangannya. Jika perempuan tidak bisa memuaskan pasangannya, dengan mudah perempuan bisa dibuang dan mencari ganti perempuan baru (seperti perempuan di pornografi yang bisa diganti atau jika bosan mencari video baru).
Orang dari kelompok etnis minoritas (berkulit hitam atau dari negara berkembang/negara miskin) dan memiliki kecatatan juga digambarkan sebagai orang dari kelompok yang lebih lemah, mudah dimanipulasi dan bodoh, serta submissive. Sebagai akibatnya, pengguna pornografi yang mengakses tayangan yang melibatkan marginalisasi kelompok minoritas dan cacat bisa mengembangkan sikap dan perilaku yang melemahkan mereka.
Cara pandang negatif yang didapat dari pornografi ini bisa diaktualisasi baik secara sadar atau tidak disadari oleh pengguna pornografi. Namun, biasanya orang di sekitarnya, atau pasangannya bisa mengenali sikap dan perilaku negatif ini.
Pornografi menciptakan standar kecantikan fantasi
Dalam kepala konsumen pornografi, perempuan bisa menjadi "piala". Namun, agar layak dijadikan piala, perempuan perlu tampak menggairahkan, seksi; harus memenuhi kriteria menarik secara seksual bagi kebanyakan laki-laki. Pornografi bisa membentuk standar kecantikan perempuan.
Kriteria kecantikan pornografi dikembangkan dari stimulus super-natural,
maka bisa bertransformasi menjadi fantasi yang tidak realistis, "seks akan memuaskan
jika dilakukan dengan perempuan yang selalu muda, cantik, dada besar, menuruti
perintah, selalu siap memuaskan, harus mau bereksperimen dan sebagainya".
Pasangan yang menua atau tidak seperti gambaran kecantikan di pornografi,
menjadi tidak menarik. Ilusinya
adalah untuk berhubungan seks dengan perempuan yang selalu muda. Jika kriteria-kriteria fantasi
tersebut tidak ditemukan di pasangannya saat ini, maka konsumen pornografi
lebih mungkin mencari fantasinya di tempat lain.
Berbagai cara bisa dilakukan, perselingkuhan dengan perempuan yang mendekati fantasinya, atau mau mewujudkan fantasi seksualnya, atau mengakses prostitusi, atau menggunakan sex doll.
Sayangnya, hal-hal ini mengikis kemampuan seseorang untuk membentuk relasi antar manusia yang bermakna dalam jangka panjang (kesulitan membangun komitmen), dan pada kelanjutannya akan mempengaruhi keberlanjutan komunitas kita.
Pornografi dan eksploitasi manusia
Salah satu dokumenter di Netflix "Hot girls wanted" (2015) menunjukkan sisi lain dari gemerlap industri pornografi dan fantasi gairah yang mereka jual. Image yang ingin dijual: pornografi dilakukan secara profesional. Kenyataannya, banyak video porno dibuat dengan mengeksploitasi manusia.
Dokumenter menunjukkan bahwa gadis remaja bisa digiring dan akhirnya terjerumus ke industri pornografi amatir di Miami, Amerika Serikat. Remaja dibujuk masuk dan dieksploitasi dalam industri pornografi, dengan menggunakan rasa ingin tahu dan ingin bersenang-senang, rasa bersalah dan keterlanjuran, dan juga ketertarikan pada uang.
Dengan teknologi media sosial, hal ini bisa dilakukan dengan lebih mudah. Dari posting foto seksi di media sosial, hingga terlibat dalam pembuatan video porno hardcore (Bershire, 2015). Remaja lebih mudah dimanipulasi dan dieksploitasi untuk memproduksi video porno karena kurang pengalaman serta kurang mampu bersikap asertif. Ini terjadi di seluruh dunia.
Pornografi juga meningkatkan permintaan akan penjualan manusia - human trafficking (Luzwick, 2017). Kebiasaan mengkonsumsi pornografi berisi kekerasan dan eksploitasi dapat membuat konsumennya terbiasa dengan seks menyimpang; lalu ingin mengalami apa yang dilihatnya (melakukan seks menyimpang). Perilaku seks menyimpang ini sering dikenai pada orang yang dikendalikan di pasar penjualan manusia, terutama perempuan dan anak (Luzwick, 2017). Ketika penjualan manusia menjadi lebih subur, artinya komunitas kita melemah karena tidak mampu melindungi manusia.
Apakah ada dampak positif pornografi?
Sebuah penelitian oleh Diamond dan kolega (2010) di Republik Ceko membandingkan jumlah kasus kekerasan seksual di masa kepemilikan pornografi dinyatakan illegal (sebelum 1989), dan setelah kepemilikan pornografi dilegalkan (1989-2007). Mereka menemukan terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan seksual ketika kepemilikan pornografi dilegalkan; bahkan kasus kekerasan seksual anak turun ketika pornografi melibatkan anak (child pornography) dilegalkan. Mereka berargumen, bahwa pornografi menjadi substitusi kekerasan seksual; maka usulannya adalah melegalkan pornografi, termasuk pornografi anak (selama tidak melibatkan anak, atau hanya menggunakan obyek anak artificial).
Temuan menarik, tapi tidak tepat. Secara kritis perlu dipahami bahwa penelitian
yang hanya membandingkan jumlah kasus di dua waktu berbeda (dengan menggunakan
metode statistik t-test)
ini tidak bisa menjelaskan hubungan sebab-akibat. Perbedaan antara dua masa
bisa disebabkan oleh banyak faktor, yang belum diteliti oleh riset ini.
Misalkan: apakah terjadi penguatan regulasi dan hukuman atas kekerasan seksual,
atau peningkatan pemahaman tentang kekerasan seksual; hal-hal ini bisa membuat
orang menghindari melakukan kekerasan seksual. Oleh karena itu, simpulan riset
ini tidak bisa dijadikan dasar legalisasi pornografi, apalagi pornografi anak.
Bisnis pornografi juga pernah diklaim memperkuat kesetaraan gender. Beberapa aktris menyampaikan bahwa mereka merasa lebih berdaya ketika bekerja di dunia ini, karena bisa mengekspresikan diri dan seksualitasnya secara terbuka.
Dalam industri ini, bayaran aktris bisa lebih besar daripada aktor, sehingga perempuan di industri ini merasa lebih berdaya dibandingkan bekerja di bidang lain (red: riset menemukan gaji perempuan lebih rendah dari laki-laki di banyak sektor kerja lainnya). Bahkan beberapa atlet perempuan mau meninggalkan lapangan olah raga untuk menjadi bintang film porno karena tergoda bayaran yang sangat tinggi (Syihabuddin, 2020).
Pornografi juga dianggap oleh sebagian orang sebagai sumber
belajar seksualitas. Namun, jika
lebih dari 40% pornografi dibuat berisi kekerasan dan penyimpangan seksual,
apakah sungguh video porno bisa menjadi sumber belajar seksualitas yang sehat
dan proporsional? Sebaiknya, kita perlu
sungguh-sungguh mempertimbangkan ulang peran pornografi dalam hidup modern
kita. Apakah dampak
positif pornografi sungguh bermakna jika dampak negatif yang harus kita
tanggung atas pribadi, relasi dan komunitas sangat merusak?
Simpulan
Pornografi saat ini telah memiskinkan seksualitas konsumennya, terutama laki-laki sebagai target konsumen terbesar pornografi.
Konsumen pornografi dikondisikan untuk terus mengakses seks bahkan untuk kebutuhan emosional non-seksual yang seharusnya didapat dari membangun relasi afektif dengan pasangannya.
Seks
dikejar sebagai pelampiasan nafsu yang mengandalkan kuantitas bukan kualitas.
Akibatnya, seks menjadi miskin, hambar tanpa keterhubungan emosional yang
seharusnya menjadi dasar aktivitas seks bersama pasangan. Bahkan pada titik
tertentu, bisa merusak relasi intim bersama pasangan.
Terlepas baik dan buruk dampak pornografi, sebaiknya seseorang perlu
melakukan refleksi diri ketika menggunakan layanan pornografi agar tidak
terhanyut dalam konsumsinya.
Perilaku menonton pornografi secara rutin dan disertai dengan masturbasi ditemukan sangat beresiko merubah cara pandang terhadap seks, perilaku seks dan tuntutan seks terhadap pasangan. Konsumsi pornografi seperti ini beresiko memunculkan ketergantungan pornografi (porn addiction) dan adiksi seks (sex addiction).
Jika dirasakan dampak negatif mulai muncul dan mengganggu kendali diri serta relasi, sebaiknya individu segera mencari bantuan profesional untuk menghentikan ketergantungannya pada pornografi.
Bersambung di tulisan Pendidikan
seks mencegah ketergantungan pornografi, bukan penyangkalan.
_____
* Pengajar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne dalam bidang Kesehatan Mental.
Tulisan ini diinspirasi dari proyek dan documenter dari Brain Heart World
(https://brainheartworld.org) yang berjuang untuk mempromosikan pemahaman
bahaya dampak pornografi di masa sekarang. Brain Heart World disusun oleh Fight
The New Drug.
Referensi:
Berkshire, G. (2015). "Sundance Film Review: 'Hot Girls Wanted'".
Variety. Diakses Februari 2021.
Brain Heart World (2020). How porn affects brain, relationships and the
society. Diakses Januari 2021 dari brainheartworld.org
Diamond, M., Jozifkova, E., & Weiss, P. (2010). Pornography and sex crimes in the Czech Republic. Archives of Sexual Behavior. Diakses dari http://www.hawaii.edu/PCSS/biblio/articles/2010to2014/2010-porn-in-czech-republic.html pada Februari 2021.
Fight the new drugs (2020). How many people are on porn? Diakses Januari 2021
dari fightthenewdrug.org
Gottman (2016). An open letter to porn. Diakses pada Januari 2021 dari gottman.com
Griffith, J.D., Adams, L.T., Hart, C.L. & Mitchell, S. (2012) Why Become a
Pornography Actress?, International Journal of Sexual Health, 24, 165-180, Doi:
10.1080/19317611.2012.666514
Grubbs, J.B., Wright, P.J., Braden, A.L., Wilt, J.A., & Kraus, S.W. (2019).
Internet pornography use and sexual motivation: A systematic review and
integration. Annals of International Communication Association, 43, 117-155.
Mohan, M. (2020). "I was raped at 14, and the video ended up on a porn site". British Broadcasting Corporation. 10 February 2020. Retrieved 8 March 2020.
Israelsen-Hartley, S. (2015). The porn talk works: If parents dislike porn,
kids will to. Diakses pada Januari 2021 di washingtontimes.com
Kimball, T.G. (2020). Why pornography is so powerfully addictive. Diakses pada
Januari 2021 di thedoctorweighsin.com
Love, T., Laier, C., Brand, M., Hatch, L., & Hajela, R. (2015).
Neuroscience of internet pornography addiction: A Review and update. Behavioral
Sciences, 5, 388-423.
Luzwick, A. J. (2017). Human trafficking and pornography: Using the Trafficking
Victims Protection Act to prosecute trafficking for the production of Internet
pornography. Northwestern University Law Review, 112, 355.
Mestre-Bach, G., Blycker, G.R., & Potenza, M.N. (2020). Pornography use in
the setting of the COVID-19 pandemic. Journal of Behavioral Addiction, 9,
181-183. Doi: 10.1556/2006.2020.00015. PMID: 32663384.
Netflix (2015). Hot girls wanted. Documentary films.
Paul. B. & Shim, J.W. (2008). Gender, sexual affect, and motivations for
internet pornography use. International Journal Sex Health, 20, 187-199.
Rasmussen, E.E., Ortiz, R.R. & White, S.R. (2015). Emerging Adults'
Responses to Active Mediation of Pornography During Adolescence. Journal of
Children and Media, 9, 2, 160-176. Doi: 10.1080/17482798.2014.997769
Solano, I., Eaton, N.R., & O'Leary, K.D. (2020). Pornography consumption,
modality and function in a large internet sample. Journal of Sex Research, 57,
92-103.
Syihabuddin, M.K. (2020). Pembalap hingga pesepak bola, 4 atlet wanita ini jadi bintang film porno. Diakses dari indosport.com pada Februari 2021.
Vice (2015). Interview with Rashida Jones on her porn documentary "Hot
girls wanted" di youtube.com. Diakses Februari 2021.
Weiss, R. (2016). All about porn-induced erectile dysfunction. Diakses Januari
2021 di huffpost.com
Your Brain on Porn (2020). Diakses Januari 2021 di yourbrainonporn.com
Zattoni, F., Gl, M., Soligo, M. (2020). The impact of COVID-19 pandemic on
pornography habits: A global analysis of Google Trends. International Journal
of Impotence Research. doi.org
Komentar
Posting Komentar