Philosophy of Science: Kaitan Teknologi, Sains dan Etika

Oleh: Soedarso*

Teknologi sebenarnya telah terlebih dahulu ada dibandingkan ilmu (sains). Perkembangan ilmu modern bermula dari perkembangan pemikiran filsafat pada 600 SM di Yunani. Peradaban-peradaban manusia pada ribuan tahun sebelum masehi di Cina, India, Mesir, Babilonia, dan Romawi kuno membuktikan akan telah adanya teknologi. Teknologi-teknologi pada jaman kuno berkembang karena sesuai tuntutan praktis di mana persoalan-persoalan konkrit selalu di depan mata dan harus dipecahkan oleh manusia. Kehidupan yang dialami manusia ternyata bukan “surga” yang serba mengenakkan, karena keterbatasan kemampuan dalam menghadapinya bahkan hambatan-hambatan alam lebih sering muncul dan lebih besar dirasakan manusia jaman dulu dibanding sekarang. Hambatan-hambatan alam tersebut senantiasa dicarikan jalan pemecahannya melalui aktifitas teknologis, maka lahirlah teknologi-teknologi sesuai keadaan jaman.

Perpindahan yang menjadi penentu dari jaman pra-sejarah menuju sejarah juga merupakan hasil teknologi yaitu: tulisan. Tulisan dalam arti yang sempit sebagai bentuk simbolisasi merupakan karya teknologi kuno yang biasanya ditulis dalam berbagai prasasti. Teknologi-teknologi pengukur waktu, pengukur ruang, dan juga bahasa  merupakan teknologi-teknologi dengan usia sangat tua (Ihde dalam Asmin, 1995:91-93).

Perkembangan teknologi kuno dapat diringkas sebagai berikut:

-       Fase awal (4 juta-15.000 SM): Alat-alat batu dan tulang, tanaman, gambar-bambar di gua-gua, makam.
-       Fase pertengahan (15.000-10.000 SM): Penemuan api, alat dari tembikar, domestikasi hewan-hewan, penemuan tanaman-tanaman bermanfaat.
-       Fase akhir (10.000 SM - sebelum berkembangnya ilmu dan teknologi modern): Ditemukan teknik menulis, berhitung,  penemuan berbagai logam, teknik-teknik bangunan, pelayaran, astronomi (Salam, 2000:28-35).

Perbedaannya dengan sekarang, teknologi kuno lahir lebih karena tuntutan akan kebutuhan dalam menghadapi hambatan-hambatan alam, sementara teknologi sekarang merupakan hasil perkembangan ilmu (sains) dan untuk memenuhi kebutuhan, akan tetapi kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh manusia. Pengembangan teknologi  modern tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan tetapi lebih jauh menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan-kebutuhan baru tersebut terkadang muncul sebagai akibat dari perkembangan teknologi sebelumnya, baik karena mengandung kelemahan-kelemahan yang harus disempurnakan atau pun karena dampak-dampak yang ditimbulkannya.

Sampai abad ke-19 pada umumnya orang masih menganggap teknologi sebagai keuntungan bagi kehidupan masyarakat. Tetapi mulai abad ke-20 dengan  adanya berbagai pencemaran dan perusakan lingkungan maupun kesehatan dan bahaya-bahaya yang tak terbatas, mulailah muncul berbagai kritik terhadap teknologi modern (Ellul dalam The Liang Gie, 1996:53-55).
Teknologi modern menciptakan lingkungan teknis yang baru dengan ciri-ciri:

1.      Lingkungan bersifat buatan.

2.      Lingkungan yang menentukan dirinya sendiri, dengan hukum-hukum teknis sendiri tertutup dari pengaruh subjek manusia.

3.      Lingkungan bergerak dengan proses sebab akibat yang tidak terputus-putus tetapi tak mengarah pada tujuan.

4.      Penimbunan berlebih berbagai sarana dan aktivitas teknis.

5.      Setiap bagian satu terkait dengan bagian lain sehingga mustahil untuk memisahkan atau menyelesaikan sesuatu persoalan teknis secara terpisah-pisah.

Dari suatu rangkaian kebutuhan yang terus menerus berkembanglah berbagai alat-alat dan sumber energi yang pada jaman kuno belum ditemukan seperti alat-alat: mesin, fotografi, telepon, radio, televisi, komputer, bom atom, pesawat terbang, pesawat ruang angkasa; sumber energi: batu bara, minyak bumi, listrik, nuklir, matahari; bahkan organ-organ buatan seperti: jantung buatan, darah buatan, dan seterusnya; yang menjadi ciri cara kehidupan kebudayaan modern. Perkembangan-perkembangan tersebut menawarkan berbagai kemudahan sekaligus bahaya yang kompleks. Ucapan Einstein (1938) yang terkenal: “ Dalam perang ilmu dan teknologi modern menyebabkan kehancuran, saling meracuni dan menjagal; dalam damai membuat hidup kita  dikejar waktu serta penuh keadaan tak menentu”.

Perkembangan di bidang sains dan teknologi yang sangat cepat dalam era modern tidak diimbangi dengan perkembangan yang berarti dalam bidang etika. Perkembangan etika dapat dikatakan sangat lambat. Problem-problem dasar etika dari dahulu peradaban primitif sampai sekarang dengan segala kemajuan ilmu dan teknologinya tetap saja muncul berbagai permasalahan berulang: kejahatan, ketidakadilan, perampasan hak, ketidakjujuran, kesewenang-wenangan, peperangan, kekerasan dan sebagainya senantiasa mewarnai corak kehidupan manusia. Jika perkembangan ilmu dan teknologi telah jauh melangkah, maka perkembangan etika berjalan sangat lambat atau bisa jadi seperti berjalan ditempat.

Kehidupan manusia modern dihadapkan pada ancaman disharmonis baik antar sesama manusia, manusia dengan karya-karyanya, atau pun antara manusia dengan lingkungan. Problem-problem bertambah besar dalam kuantitas maupun kualitas sebagai akibat dari penerapan ilmu dan teknologi terutama yang disalahgunakan.  Berkat ilmu dan teknologi  manusia dipenuhi oleh keserbacukupan materi, bahkan materi yang serba melimpah ruah. Materialisme telah sedemikian merasuki dan menggantikan nilai-nilai kerohanian dan kesalehan. Pertanyaannya: Dapatkah meningkatkan kesadaran moral ditengah-tengah derasnya arus material yang tak terbendung? Ditengah-tengah tidak dihargainya “substansi” (termasuk substansi manusia) melainkan sekedar dalam kaitannya dengan “fungsi-fungsi” (reduksi-kebendaan / objektivasi)? Tidak dihargainya subjek, karena semua subjek telah dianggap sebagai objek?

Perkembangan mutakhir, mulai menunjukkan adanya kesadaran akan perlunya ilmu-ilmu humaniora (kemanusiaan) umumnya dan etika pada khususnya. Himpitan alam kehidupan modern yang sarat dengan berbagai kebutuhan yang serba harus dibeli, dan hilangnya horizon manusia yang tereduksi kedalam kebendaan; perlu mendapat pemecahan dari berbagai aspek kehidupan manusia. Diperlukan penanganan sistematis, cermat dan tepat meskipun tidak dapat diharapkan terjadinya perubahan dalam waktu singkat.

Etika sebagai filsafat moral menekankan bahwa setiap orang setidaknya perlu menyadari tindakan-tindakannya sendiri dengan segala akibat dan tanggungjawab yang menyertainya. Konsep otonomi moral yang dikembangkan oleh Kant mengisyaratkan bahwa “inti kemanusiaan” ada pada setiap orang: setiap orang hakikatnya memiliki potensi etik. Oleh karena potensi etik inilah setiap orang perlu menghargai orang lain, menghargai perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya, dan  tindakan-tindakannya yang beragam.

Bagaimana dengan suatu masyarakat yang menghargai kebebasan individu, tetapi kemudian yang terjadi individu tersebut justru bertindak seenaknya sendiri mengganggu atau merusak individu-individu lain? Jika masyarakat memberikan kebebasan dan individu menyalahgunakannya, berarti menunjukkan rendahnya tingkat etika individu tersebut. Dengan ditinggalkannya kesadaran mental etik pada seseorang pada hakikatnya seseorang itu telah keluar dari sifat inti kemanusiaannya.

Hanya manusialah yang mampu memiliki kesadaran etik, dan hanya manusia yang dapat menyandang predikat baik atau jahat, mengapa? Manusia adalah mahluk bebas untuk bertindak sesuai jalan pemikiran yang hendak ditempuhnya. Dengan kebebasannya, setiap orang berpotensi secara moral untuk memilih dan bertanggungjawab atas tindakan-tindakannya sendiri; untuk memilih berbuat baik atau jahat. Setiap tindakan adalah tanggungjawab orang yang bersangkutan dan tidak layak dilemparkan kepada pihak lain, apapun alasannya.

Sains dan teknologi dengan segala hal yang menyertainya dapat membawa akibat luas bagi kerusakan tatanan sosial maupun tatanan alam lingkungan, terlebih jika orang-orang yang berada didalamnya adalah orang-orang yang tidak mengenal tanggungjawab. Hilangnya horison moral dalam bidang kehidupan dapat menjadi bencana: hukum hanya menjadi sekedar permainan, politik hanya untuk menindas, teknologi untuk menghancurkan manusia dan lingkungan.

Melalui sains dan teknologi, manusia membebaskan dari kungkungan alam, dan sekaligus menciptakan alam baru namun dengan sejumlah persoalan baru pula, bahkan jauh  lebih dasyat.  Etika sangat diperlukan dalam masalah ini, karena pada akhirnya yang harus menanggung akibat-akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi bukan hanya ilmuwan atau teknolog tetapi adalah manusia seluruhnya.

Kaitan sains dan teknologi dengan etika setidaknya dapat diperdalam lagi pembahasannya melalui beberapa cara:

a.      Etika teknologi: guna mengambil sikap kritis atas kondisi masyarakat dan lingkungan akibat perkembangan teknologi modern; sejauh mana permasalahan-permasalahan yang timbul beserta tanggungjawab terhadapnya.

b.    Etika akademik: guna menjamin keberlanjutan pengembangan sains (ilmu) dan teknologi dengan mengedepankan sikap jujur dan terbuka, saling koreksi dan menyempurnakan kelemahan.

c.    Etika profesi: guna memungkinkan interaksi saling menguntungkan, bisa saling percaya di antara beragamnya profesi dan terus tumbuhnya tuntutan masyarakat  untuk pelayanan yang lebih baik.  Tujuannya agar kehidupan bermasyarakat menjadi lebih nyaman, sehat, dinamis dan manusiawi.

 

*****

* Sumber: Soedarso & Heri Santoso, 2007, Filsafat Ilmu dan Etika, Penerbit Pustaka Rasmedia, Yogyakarta. Halaman: 64-92.

Komentar

Postingan Populer