Tubuhmu mulia, mengapa?
Oleh: Margaretha*
(Peringatan: berisi materi dewasa)
Bacalah kedua kasus ini. Menurut anda siapa yang problemnya lebih berat, Eva atau Adam?
Cerita
1
Pulang kerja sore itu, Eva sangat
kelelahan. Ia pulang untuk memasak makan malam buat keluarganya. Lalu segera
memberi makan dua anaknya dan membersihkan rumah, karena tubuhnya meronta ingin
segera istirahat. Malamnya, suami meminta Eva untuk melayaninya di tempat
tidur. Eva menolak, tapi dia dipaksa melakukannya. Setelah itu, Eva menangis.
Cerita 2
Pulang kerja sore itu, Adam sangat kelelahan.
Ia pulang untuk memasak makan malam buat keluarganya. Lalu segera memberi makan
dua anaknya dan membersihkan rumah, karena tubuhnya meronta ingin segera
istirahat. Malamnya, istri meminta Adam untuk melayaninya di tempat tidur. Adam
menolak, tapi dia dipaksa melakukannya. Setelah itu, Adam menangis.
Jika anda melihat salah satu lebih berat dari yang lain, Eva atau Adam; maka
mungkin anda memiliki cara pandang yang bias gender. Termasuk, bila anda
menilai bahwa masalah karena pemaksaan hubungan seksual pada Eva berbeda
levelnya jika dibandingkan pada Adam.
Perempuan biasanya diharapkan bisa mengerjakan berbagai tugas domestik dan siap
melayani suaminya karena itu adalah kewajibannya dalam mempertahankan
keluarganya. Tapi itu bukan kewajiban buat laki-laki.
Laki-laki biasanya dipandang tidak bisa menjadi obyek pemaksaan seksual oleh
pasangannya, karena dia laki-laki yang harusnya punya kendali atas pasangannya
dan senang akan seks. Tapi tidak pantas jika perempuan melakukannya.
Sebenarnya, kedua cerita ini disusun setara, persoalannya pun persis sama.
Maka, yang membuat kedua cerita jadi tampak berbeda adalah sikap atau cara
pandang kita terhadap perempuan atau laki-laki, serta harapan kita tentang
peran/perilaku yang semestinya dilakukan oleh perempuan atau laki-laki.
Sikap dan harapan gender yang kita
miliki ini telah terbentuk dari pengasuhan dan pendidikan nilai-nilai yang
selama ini membentuk kita. Sadar
tidak sadar, ada bias gender dalam diri kita. Inilah yang membuat kedua cerita
ini "terasa" berbeda.
Bias gender yang tidak disadari bisa menghasilkan sikap dan perilaku yang
memecah-mecah keutuhan manusia dan mereduksi kemuliaan tubuh manusia, yang
akhirnya menciptakan kerentanan menjadi obyek kekerasan seksual (obyektifikasi
seksual).
Kenyataannya, sebagian besar kita
telah dididik untuk melihat dan memperlakukan perempuan dan laki-laki tidak
setara. Maka perlulah kita refleksi diri agar menjadi sadar dan belajar.
Setelah
refleksi diri, saya berpendapat bahwa baik perempuan dan laki-laki sejak dini
perlu dilatih melihat jiwa dan raganya secara utuh dan mulia. Juga, bahwa
kebahagiaan adalah hak pribadi yang perlu dihargai dan dijamin oleh satu sama
lain. Sikap-sikap ini penting diajarkan pada kaum muda, terutama untuk mencegah
kekerasan seksual di lingkungan kita.
Kesatuan Jiwa dan Raga yang
mulia
Sering kita terjebak dalam dualisme tidak setara antara
raga dan jiwa. Bahwa raga bersifat daging maka lebih rendah
daripada jiwa yang bersifat murni; sehingga hanya jiwa yang dianggap luhur dan penting.
Jiwa bahkan dipercaya bisa dimurnikan kembali dengan doa mohon pengampunan atau
berbuat baik atau upaya spiritual lainnya. Tapi tidak dengan raga, yang sekali
cacat maka dianggap selamanya ternoda.
Sayangnya, cara pandang dualisame tidak setara ini bisa menghasilkan
sikap merendahkan, kasar dan mengeksploitasi tubuh manusia.
Lebih buruk dialami tubuh orang yang lemah secara sosial. Pada orang yang
dianggap lebih rendah atau tidak berdaya, tubuhnya jadi semakin terdegradasi
dan rentan dimanipulasi. Misalkan, tubuh seorang Budak/Bawahan akan dianggap
sangat rendah bahkan bisa dilihat setara dengan benda oleh seorang yang
menganggap diri Tuan/Majikan.
Dampak lainnya, juga bisa muncul atribusi kesalahan/dosa hanya pada tubuh.
Misalkan, masyarakat bisa berpandangan bahwa tubuh perempuan bisa membuat orang
jadi berdosa karena melihatnya dan menginginkannya.
Atribusi salah ini sangat merugikan, karena mengabaikan niat jahat yang justru
sebenarnya muncul dari berpikir - jiwa. Cara pandang salah ini semakin mereduksi
sumber kejahatan hanyalah kedagingan tubuh. Alih-alih menyelesaikan masalah
dengan menarget dan merubah kesalahan berpikir pada pelaku yang berpikir mesum,
malah jadi menyalahkan si pemilik tubuh.
Alangkah baiknya, jika sejak muda
kita diajak berpikir bahwa baik tubuh dan jiwanya adalah satu kesatuan yang
tidak terpisah-pisahkan. Maka keduanya berharga, tubuh dan jiwa adalah
luhur. Tidak bisa melihat tubuh hanya sebagai obyek dan
terlalu terfokus pada jiwa saja.
Bukankah temuan ilmu Neurosains sudah menjelaskan bahwa kesadaran manusia
sangat terkait dengan kerja organ otak dan kimia tubuh? Tidak ada jiwa yang
bekerja sendiri tanpa ditopang proses-proses jasmaniah, artinya kesehatan jiwa
hanya bisa terjadi jika kita mengupayakan keluhuran tubuh manusia. Bahkan Ilmu
Psikologi sudah menjelaskan bahwa kesan dan pesan yang muncul dalam proses
mental manusia dikendalikan awal oleh proses inderawi di tubuh manusia. Pada
titik tertentu, tubuhlah yang mengendalikan alam berpikir manusia.
Menghargai tubuh artinya kita
menjaga jiwa. Jika
ada yang merendahkan, memanipulasi dan merusak tubuh, artinya merendahkan,
memanipulasi dan merusak jiwa. Itu adalah penistaan.
Anak yang dibesarkan memiliki harga diri yang positif, akan berkembang menjadi orang yang menghargai tubuh dan jiwanya; maka ia tidak akan membiarkan orang lain meremehkan, menjarah tubuhnya dan memanipulasi mentalnya.
Setara dengan harapan penghargaan atas kemampuan berpikir/intelek, maka tubuh
manusia juga harus dihargai. Tubuh yang luhur tidak boleh diperlakukan rendah,
seperti dicemooh, dilecehkan, disentuh tanpa diinginkan serta dikenakan
tindakan seksual yang tidak diinginkan (misalkan siulan, komentar, tatapan,
gesture dan bercanda seksual). Tubuh juga tidak boleh dikenai kekerasan seksual
dengan alasan apapun.
Jika
kita merusak tubuh orang lain, maka kita merusak jiwanya. Jika ada orang
menjarah tubuhku, maka jiwaku juga menderita. Demi keluhuran tubuh dan jiwaku,
aku harus menghargai keluhuran tubuh dan jiwa orang lain.
Kebahagiaan adalah upaya timbal
balik
Tujuan membangun hubungan adalah
menciptakan kebahagiaan timbal balik bagi pihak-pihak yang berelasi. Cara
mendasar mempertahankan hubungan yang sehat adalah memastikan masing-masing
pihak merasa aman, nyaman dan dihargai satu-sama lain. Artinya, tujuan, kebutuhan, dan upaya
masing-masing pihak perlu dianggap setara dan sama-sama penting.
Oleh karena itu, dalam upaya mencapai kebahagiaan bersama, semua pihak perlu mampu, dihargai haknya dan diberikan kesempatan
menyampaikan keterlibatannya secara jelas.
Jika dalam suatu hubungan tidak terdapat tujuan kebahagiaan yang sama dan ada
pihak yang tidak diperlakukan setara, sehingga menciptakan perasaan tidak aman,
tidak nyaman dan merasa tidak dihargai, maka ini adalah hubungan yang tidak sehat.
Jika dalam relasi ada satu pihak yang menggunakan kekuasaannya untuk mengenakan
perilaku seksual yang sebenarnya tidak diinginkan/tidak disetujui (baik secara
eksplisit maupun implisit) bahkan melanggar hak pribadi pihak lain, maka ini
adalah kekerasan seksual. Misalkan, bila suami merasa memiliki hak menguasai
tubuh istrinya dan meminta pelayanan seksual walaupun berlawanan dengan
keinginan istrinya, maka ini adalah bentuk kekerasan seksual.
Dalam hubungan tidak sehat, tidak akan tercipta kebahagiaan. Jika di dalamnya,
seksualitas dilakukan tanpa persetujuan dan melanggar hak pribadi salah satu
pihak, maka tidak akan tercapai kebahagiaan.
Sayangnya, masih ada orang yang menolak pengejawantahan kesetaraan hak dalam
hubungan antar manusia, yang pada akhirnya menghambat penanganan persoalan
kekerasan seksual di masyarakat kita.
Alangkah baiknya, jika sejak muda
kita diajak berpikir bahwa kita semua setara dan boleh menyuarakan hak pribadi
untuk mencapai kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan sewajarnya timbal balik, yang
dilandaskan saling memberikan perasaan aman, nyaman dan menghargai satu-sama
lainnya.
Dengan dasar kesetaraan dan sikap saling menghargai, antar manusia akan terbiasa bertanya persetujuan satu sama lain sebelum melakukan tindakan yang akan berdampak atas satu dan lainnya. Saling bertanya dan menghargai jawaban satu sama lain seharusnya berkembang menjadi budaya yang alamiah. Ya atau Tidak perlu difasilitasi untuk diekspresikan, dan kita perlu belajar dewasa menerima jawaban.
Dengan
pasangan hidup sekalipun, kita akan terbiasa berdialog membangun perencanaan
menuju kebahagiaan bersama, berusaha membangun perasaan aman dan nyaman
bersama, serta selalu memperbaiki diri dalam menunjukkan sikap saling
menghargai satu sama lain.
Relasi seksual yang tidak dilandasi perasaan aman, nyaman dan sikap saling
menghargai; bahkan disertai pemaksaan/tanpa persetujuan dan pelanggaran hak
pribadi salah satu pihak harus dilihat sebagai pelanggaran kekerasan seksual.
Ini adalah kejahatan.
Lalu bagaimana dengan bias
gender dalam diri saya saat ini?
Bila secara pribadi kita menyadari bahwa masih ada bias gender dalam memahami
persoalan kekerasan seksual, baiknya kita segera membekali diri dengan wawasan
dan keterampilan tentang seksualitas sehat dan penanganan kekerasan seksual di
masyarakat kita.
Dunia terus berubah, hal ini menuntut pergerakan dan pengembangan horison
pemahaman kita.
Janganlah kita menjadi batu penghambat menghalangi korban mendapatkan hak pemulihan dan keadilan.
Janganlah
kita melindungi pelaku untuk terus melakukan kejahatannya atau bebas tanpa
harus mempertanggungjawabkan kejahatannya.
Karena jika kita menolak kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan
seksual artinya sama dengan mendukung terjadinya kekerasan seksual!
=========
* Pengajar Psikologi di Universitas Airlangga
Sedang menempuh studi lanjut di the University of Melbourne
Komentar
Posting Komentar