Refleksi Atas Pandemi Covid 19: Isolasi menuju Satu Kemanusiaan *
Oleh: Soedarso
Kehidupan manusia bisa ditelusuri dalam beberapa aspek. Manusia bisa dipahami dari aspek materi (fisika, kimia, biologi), mau pun aspek rohani (psikologi, spiritual). Pada aspek materi, maka manusia sangat bergantung pada unsur-unsur material untuk dapat menunjang kelangsungan hidupnya. Unsur-unsur material yang sangat mendasar penunjang keberadaan manusia antara lain persoalannya ekonomi dan kesehatan. Persoalan ekonomi bagaimana setiap manusia memenuhi kebutuhan hidupnya; bagaimana sebuah manusia di seluruh dunia, di sebuah negara, di suatu masyarakat, suatu keluarga, bahkan setiap orang harus memampukan diri memenuhi kebutuhan hidupnya; tanpa kemampuan (atau sering disebut kekayaan) ekonomi maka manusia akan mengalami kesulitan untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Persoalan lain yang sangat menunjang kelangsungan hidup manusia adalah kesehatan. Kesehatan menyangkut bagaimana kemampuan dalam menangkal berbagai penyakit yang menyerang manusia. Ketidakmampuan dalam menangkal penyakit berkonskuensi pada sebuah penderitaan fisik dan mental, atau bahkan bisa berujung pada kematian.
Pada aspek
rohani, maka yang menunjang kelangsungan hidup manusia adalah juga
‘kekayaan’ dan kesehatan rohani.
Pengetahuan dan pengalaman yang luas serta kedalaman dan kebijaksanaan spiritualitas;
akan memunculkan pribadi manusia yang baik secara psikologis, etis dan
spiritual. Demikian halnya, ‘kemiskinan’ dan kedangkalan spiritualitas akan
membawa kerentanan emosi dan mental, serta kesempitan berpikir dan bertindak;
sebagai contoh kadang dijumpai mudahnya kasus membunuh orang lain atau membunuh
dirinya sendiri; Bagaimana suatu ‘rohani yang hidup’ dengan pendeknya
memutuskan ‘mengakhiri suatu hidup’? Kekayaan
dan kesehatan rohani akan mengantarkan kepada sikap toleransi, saling
menghormati dan bekerjasama, saling tolong menolong dan menebar empati kepada
semua; sebaliknya kemiskinan dan ketidaksehatan rohani membawa pada sikap
intoleransi, egoisme dan keangkuhan, serta hanya mementingkan diri dan atau
kelompoknya saja.
Kemunculan dan Penanganan Pandemi Covid 19
Pandemi covid 19
yang mulai merebak di akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 membawa dampak yang menggoncangkan baik aspek materi maupun rohani. Dampak pada aspek materi yakni persoalan
kesehatan dan kemudian berdampak pada persoalan ekonomi. Persoalan kesehatan
sangat jelas, karena sifat pandemi covid 19 yang mudah menular serta dapat
berakibat pada kematian secara cepat. Total kasus dan jumlah korban meninggal
dunia akibat covid 19 per 5 Juli 2022 berdasarkan ringkasan data dari Our World
in Data dan JHU CSSE COVID-19: di seluruh dunia total kasus 552 juta, dan
meninggal dunia 6,34 juta; sedangkan di
Indonesia total kasus 6,1 juta dan meninggal 157 ribu (sumber online: https://www.google.com/search?q=info+covid+terbaru)
. Hal ini menunjukkan betapa pandemi
covid-19 sangat berdampak pada kesahatan yang dapat mengancam keberlangsungan
hidup manusia.
Di sisi lain, dari aspek ekonomi, khususnya di Indonesia dampaknya juga sangat signifikan: data dari kementrian koperasi menunjukkan ada sekitar 37 ribu pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang terkena dampak dari pandemi covid-19. Hal ini mengkhawatirkan karena pada dasarnya sektor UMKM merupakan salah satu faktor penting penggerak perekonomian. Pada sebelum pandemi Covid 19, yakni pada tahun 2018 sektor UMKM menyumbang sebesar 60,34% terhadap PDB Indonesia, dan terdapat sekitar 116 juta tenaga kerja yang diserap oleh sektor UMKM atau 97,02% dari seluruh total pekerja yang ada di Indonesia (Sidjabat, 2021). Dampak lain dari pandemi covid-19 dalam aspek ekonomi adalah dengan semakin meningkatnya angka pengangguran. Muncul fenomena pengangguran di kalangan terdidik, hal ini disebabkan oleh terbatasnya lapangan pekerjaan yang ada, dan bisa juga karena tidak sinkronnya kualifikasi lulusan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja/usaha yang ada. Hal ini sekaligus menjelaskan betapa masih kurangnya tingkat kewirausahaan yang dapat dihasilkan dari dunia pendidikan dewasa ini. Lulusan pendidikan kurang dipersiapkan menjadi wirausaha agar mampu hidup mandiri dan membuka lapangan kerja bagi lingkungan sekitar (Purbawati & Pinem, 2020). Dengan demikian, kemunculan pandemi covid 19 telah mengancam dan membahayakan manusia; mengancam kesehatan manusia serta kehancuran ekonomi yang juga dapat berimbas kepada berbagai ancaman krisis dan keberlangsungan hidup manusia.
Hingga tahun
2022, penanganan pandemi covid 19 di seluruh dunia, di berbagai negara, dan
terutama di Indonesia cukup membuahkan hasil yang signifikan, sehingga ancaman kepunahan
manusia karena pandemi covid 19 untuk sementara bisa di atasi; hal ini sudah
barangtentu merupakan hasil kerjasama semua pihak baik pemerintah, masyarakat,
tokoh agama, tokoh masyarakat dan juga para ilmuwan di Indonesia dan di seluruh
dunia yang dengan cepat menerapkan protokol kesehatan dan mampu membuat vaksin anti covid 19. Pandemi covid 19 berhasil dikendalikan persebarannya
dengan antara lain dengan menerapkan protokol kesehatan bagi yang sehat, serta
pemberlakuan “isolasi” bagi yang sakit sampai sembuh.
Penerapan
protokol kesehatan membawa kebiasaan baru untuk lebih menjaga kebersihan diri
dan lingkungan. Setiap orang juga wajib vaksin agar mengurangi resiko pada saat
terkena covid 19. Dengan adanya tiga kegiatan penting ciri khas dari masa
pandemi covid 19 yakni protokol kesehatan, vaksin, dan isolasi; maka masyarakat
memasuki kebiasaan baru (new normal) yakni hidup berdampingan dengan ancaman
covid 19 dengan cukup aman. Ancaman penyakit covid 19 tidak dapat dihilangkan
sepenuhnya sebagaimana beragam penyakit lain yang telah ada; namun dampaknya
bisa dikendalikan sehingga tidak terlalu mengancam keberlangsungan hidup
manusia.
Isolasi dan Kemandirian
Satu hal yang menarik
untuk bahan refleksi dari penanganan pandemi covid 19 adalah adanya ‘isolasi’.
Isolasi merupakan tindakan ‘mengurung’ atau ‘membatasi’ interaksi dengan pihak
lain. Mengapa isolasi menjadi tema yang menarik? Isolasi merupakan hal kodrat
manusia: kehadirannya sangat diperlukan; namun jika tidak bijaksana berubah
menjadi petaka. Isolasi pada dasarnya merupakan suatu proses dalam perkembangan
hidup manusia.
Secara biologi
manusia berproses dalam tahap-tahap isolasi di: dalam rahim, dalam asuhan
keluarga, dalam sekolah, dalam masyarakat, dan seterusnya. Secara sosial budaya, jauh
sebelum ‘isolasi karena pandemi covid 19’, manusia juga sudah menciptakan
isolasi-isolasi sosial berupa pembedaan jenis kelamin, kelompok etnis, kelompok
agama, kelas sosial, pilihan ideologi dan seterusnya. Dari hal ini dapat
terlihat bahwa manusia dapat bertumbuh dan berkembang karena adanya berbagai
proses isolasi; sehingga dengan demikian isolasi merupakan suatu keniscayaan
yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia.
Bentuk-bentuk
isolasi jika dipahami secara menyeluruh merupakan proses dan kekayaan luar
biasa yang seharusnya ‘menyatukan manusia’, saling melengkapi satu dengan
lainnya. Isolasi merupakan proses yang terus berkembang. Demikian halnya,
sebagai contoh adanya keragaman agama, budaya, etnisitas dan lain-lain; sudah
semestinya dipahamkan sebagai proses untuk menuju ke kemanusiaan yang satu;
bukannya menjadikan isolasi penyebab sekat-sekat antar manusia yang memecah
belah dan bahkan bisa saling menghancurkan satu dengan lainnya.
Pelajaran dari
kemunculan pandemi covid 19, maka perbedaan atau sekat atau ‘isolasi’ antar
etnis, agama, negara dan lain-lain sudah seharusnya lebur. Idealnya kemanusiaan
menjadi satu kesatuan di seluruh dunia yakni bersatu padu bersama-sama
memerangi pandemi covid 19. Hal ini juga terbukti dalam implementasi konkrit contohnya
pada saat pelaksanaan vaksin, maka semua diberikan oleh negara secara sama ke
semua orang tanpa memandang sekat-sekat sosial, bahkan diberikan secara gratis.
Hal ini menunjukkan bahwa pandemi covid 19 mampu menciptakan tercapainya
kesetaraan kesehatan untuk sesama
manusia.
Dengan demikian,
munculnya pandemi covid 19 menyadarkan manusia bahwa bisa adil dan merata dalam
hal kesehatan (ket.: khususnya pemberian vaksin). Lalu persoalannya, Bagaimana
dengan aspek ekonominya? Dapatkah negara bertindak hal yang sama?
Ekonomi dibangun oleh seluruh masyarakat di dalamnya. Setiap anggota masyarakat dewasa dan cakap, diarahkan untuk menuju ke kemandirian ekonomi, setiap orang harus bekerja dan memperoleh penghasilan yang layak untuk hidupnya. Setiap orang dalam saling keterkaitan yang luas sebagai masyarakat, bekerjasama, dan saling memampukan satu sama lainnya. Pengangguran atau ketiadaan kerja merupakan contoh bentuk ketidakmandirian secara ekonomi, karena pengangguran akan memerlukan ketergatungan pada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk menyokong kelangsungan hidupnya.
Peran pemerintahanan negara idealnya membuka lapangan kerja baik secara langsung mau pun tidak
langsung, melalui institusi pemerintah mau pun swasta; menjamin setiap warga negara
mampu memampukan dirinya. Setiap warga negara dijamin untuk bekerja untuk diri
sendiri (wiraswasta) atau bekerja pada pihak lain (pegawai/karyawan). Hakikat pembangunan adalah memandirikan setiap subjek
manusia. Pemerintah suatu negara merupakan regulator yang bersifat ‘publik’ yang melayani seluruh warga
negara; pada saat hanya melayani personal atau kelompok
tertentu maka menjadi keliru dan merupakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Dari sisi ekonomi,
manusia menjadi manusia manakala mencapai kemandirian ekonomi. Setiap manusia
harus bekerja sebagai bagian esensial proses pemenuhan kebutuhan hidup untuk
menunjang kelangsungan hidupnya.
Epilog
Seorang pemikir
Jawa Ki Ageng Suryomentaram menyatakan bahwa manusia ideal adalah manusia tanpa
ciri; sedangkan kebanyakan manusia belum mencapai tahap ini. Yang banyak
terjadi, manusia memang pada posisi ‘kramadangsa’ yakni manusia yang penuh
dengan ciri-ciri, manusia yang terikat dan tersekat-sekat oleh citra
bentukannya sendiri (Soeryomentaram, 1978). Menjadi manusia tanpa ciri adalah
melepaskan semua sekat-sekat tersebut; dan bersamaan datangnya pandemi covid19
ini, ternyata membawa serta manusia mampu melonggarkan sekat-sekat yang ada. Manusia
menjadi lebih bersatu karena secara bersama-sama harus menghadapi musuh yang
sama yakni covid19. Pandemi covid 19 membawa manusia kepada kesadaran akan kesatuan
manusia, membawa kesadaran akan pentingnya kemanusiaan yang satu.
Akankah setelah pandemi covid19 berlalu, manusia kembali terpecah belah dalam
ragam isolasi berupa etnis, agama, politik dst, kembali kepada sekat-sekatnya masing-masing?
Begitu banyak dan
beragamnya ancaman terhadap kerusakan bumi dan atau kepunahan manusia, baik
secara biologi (virus dan sebagainya) mau pun secara fisika kimia ( pergeseraan
lempeng bumi, pemanasan global, benturan benda-benda angkasa, kepunahan tata
surya, dan sebagainya). Isolasi dan sekat-sekat etnis, agama dan sebagainya
jangan sampai dipahami sebagai pemecah belah, tetapi harus dipahami sebagai
satu kesatuan kekayaan kehidupan manusia; yang diharapkan ke depan terus
mengarah ke persatuan umat manusia. Tidak perlu sesama manusia saling
menghancurkan satu sama lain; yang diperlukan sesama manusia saling bersatu
padu mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang ada. Dalam istilah
Damarjati Supadjar, diperlukan suatu ilmu setubuh senyawa kosmis (Soedarso,
1999). Sifat ego atau keakuan manusia secara eksistensial membawa ke keunikan
setiap manusia (individu), namun secara esensial mengarah kepada ke-Aku-an yang satu yang mengatasi segala pengada.
Referensi
Purbawati, D., & Pinem, R. J.
(2020), Pengembangan Jiwa Wirausaha
dengan Memanfaatkan Media Sosial di Masa, Seminar Nasional Pengabdian
Kepada Masyarakat UNDIP 2020 (pp. 15-18), Semarang: Universitas Diponegoro.
Ringkasan data info covid19, sumber online: https://www.google.com/search?q= info+covid+terbaru; diakses pada 7 Juli 2022 pukul 20.55 WIB.
Sidjabat, S. (2021), Strategi
Pelaku Usaha dalam Menghadapi Krisis Ekonomi di MasaPandemi Covid-19 , Prosiding
Seminar Stiami Volume 8 No. 1 (pp. 41 - 45), Jakarta: Institut Ilmu Sosial dan
Manajemen Stiami.
Soedarso. (1999), Kramadangsa
Suatu Konsep Manusia dalam Filsafat Jawa Ki Ageng Suryomentaram, Yogyakarta: Tesis Program Studi Ilmu
Filsafat PPS UGM.
Soeryomentaram, Ki Ageng. (1978), Mawas Diri, Jakarta: Yayasan Idayu.
· * Tulisan ini dengan judul yang berbeda tetapi isi sama, pernah dikirim ke Konferensi Hidesi Ke 32 di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15 – 16 Juli 2022; serta dipublikasikan dalam Buku "Identitas, Kota & Ekonomi", editor: Sarkawi B. Husein, Moordiati, Penerbit Pagan Press, Lamongan, 2024.
Komentar
Posting Komentar