Senin, 08 Juni 2020

Pancasila Indonesia


Oleh: Soedarso*

Proses pembentukan suatu negara tidak mengikuti jalan yang sama untuk setiap negara. Setiap negara memiliki sejarahnya masing-masing. Negara-negara modern sebagaimana yang terbentuk pada masa sekarang pada awalnya bermula di kawasan Eropa Barat dan Amerika, yang memunculkan pemerintahan sentralistik monarchi modern abad 16-18 dan kemudian memunculkan antitesa dengan berkembangnya paham nasionalisme. Faktor-faktor yang sangat menentukan berdirinya suatu negara baru adalah karena  adanya suatu kebebasan ekspresi di bidang politik, budaya serta ekonomi (Bottomore, 1992).

Nasionalisme adalah ide penentuan politik secara mandiri bagi suatu kelompok sosial yang menempati wilayah tertentu, memandang dirinya sebagai memiliki suatu sifat budaya dan etnik tersendiri disertai perjuangan untuk membangun kedaulatan rakyat. Kunci nasionalisme biasanya adalah ide kedaulatan rakyat, reposisi penguasa dan yang dikuasai, dan reposisi kelas atau kasta menuju pembentukan suatu kelas baru. Secara garis besar sumber-sumber lahirnya nasionalisme yang utama karena munculnya gerakan kaum intelektual, perkembangan sosial budaya, adanya penemuan doktrin baru dan juga peranan kekuatan angkatan bersenjata (Ibid., 1992). Demikian halnya, pertumbuhan nasionalisme Indonesia yang lahir bersamaan lahirnya nasionalisme-nasionalisme baru di kawasan Asia - Afrika seiring melemahnya kekuatan imperialisme dunia disertai penguatan kesadaran ide penentuan hak-hak bangsa-bangsa dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Lahirnya negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 melahirkan Pancasila sebagai identitas nasionalnya.

Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang dinamis, luas serta kaya akan berbagai hal, adat, budaya, nilai-nilai, religius dan sebagainya. Kenyataan yang terjadi menunjukkan terdapatnya berbagai situasi yang kontradiktif, namun dalam situasi yang kontradiktif itu pula bangsa Indonesia dapat tetap bertahan dan mengembangkan dirinya. Inilah yang menjadi ciri sekaligus menunjukkan telah adanya paradigma yang “menyatukan” dan “memajukan” bangsa Indonesia. Eka Darmaputera (1997) menjelaskan secara ilmiah dalam bukunya yang berjudul:  “Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya” yang merupakan referensi utama pembahasan artikel ini.

Sebagai satu bangsa dan negara mandiri Indonesia bisa dikatakan sebagai yang paling heterogen di dunia:

1) Negara paling berserak di dunia dengan 17.667 pulau besar dan kecil, dengan wilayah daratan seluas 735.000 mil persegi atau seluas Alaska, yang tersebar dalam wilayah seluas 4 juta mil persegi atau seluas Amerika minus Alaska.

2) Negara dengan etnis dan budaya paling heterogen: 300 kelompok etnis dan 50 jenis bahasa yang satu sama lain amat berbeda, belum lagi etnis pendatang seperti dari: Tiongkok, India, Arab, Eropa, Afrika dan lain-lain.

3) Dari segi agama, hampir semua jenis agama besar terdapat di Indonesia kecuali Yudaisme (Yahudi), ditambah puluhan aliran-aliran keagamaan yang biasanya merupakan varian dari agama-agama besar.

4) Kemajemukan secara ekonomi: dari sistem ladang berpindah yang sangat tradisional, sistem sawah, perkebunan, sampai industri-industri modern dengan teknologi tinggi; dari tunakarya dan tunawisma sampai pengusaha-pengusaha dan konglomerat besar.

5) Kemajemukan secara sosial: dari desa-desa terpencil di gunung-gunung dan pedalaman sampai dengan kota metropolis yang sarat permasalahan; dari masyarakat nomaden (berpindah-pindah) tanpa strata sampai dengan masyarakat dengan susunan strata berlapis-lapis seperti pada kota-kota perdagangan  Medan, Jakarta dan Surabaya.

6) Majemuk secara sistem kekerabatan: matrilineal (garis keturunan ibu), patrilineal (garis keturunan bapak), bilateral (dapat keduanya ibu maupun bapak).

7) Majemuk secara sistem politik: dari yang berpolitik secara tradisional, transisional, sampai dengan modern; dari model aliran politik keagamaan, nasionalis, sampai dengan kesukuan; dari kecenderungan demokratis sampai kepada yang berkecenderungan otoriter (Darmaputera, 1997). Dari keadaan yang sangat heterogen Indonesia bahkan disebut sebagai masyarakat yang dualis dan paradoksal. Hal ini semakin nyata dapat dilihat dalam pola kegiatan masyarakat yang “berbaur tetapi tidak padu” .

Sejarah kehidupan bangsa Indonesia pada hakikatnya mencerminkan sebuah sejarah yang bersifat internasional. Pengaruh-pengaruh bangsa asing silih berganti dalam berbagai masa atau periode. Terkadang menjadi sulit untuk dapat manemukan manakah yang ‘orisinal’ bangsa Indonesia. Tidak ada satu kebudayaan pun di dunia yang benar-benar orisinal tanpa ada pengaruh atau hubungan dengan kebudayaan lain. Dari pengaruh demi pengaruh peradaban Indonesia dikatakan sebagai dapat memelihara ciri-cirinya yang khas. Hal ini dikarenakan adanya kejeniusan lokal dari bangsa Indonesia.

          Di sisi lain, setidaknya ada tiga lapis budaya Indonesia menurut Clifford Geertz adalah: Abangan, Priyayi, dan Santri. Abangan berorientasi pada nilai-nilai animis kesukuan kekerabatan, biasanya adalah para kaum petani, berpusat di pedesaan. Priyayi berorientasi pada nilai-nilai hierarkhial panteistik, biasanya adalah para kaum birokrat di kota-kota pedalaman. Santri berorientasi pada nilai-nilai universal teistik, biasanya adalah para kaum pedagang, berpusat di kota-kota pesisir. Menurut Kahane ketiga lapis budaya sebagaimana disebutkan Clifford Geertz tersebut tidak pernah benar-benar dapat melebur atau terintegrasi, akibatnya nilai-nilai bersama yang bersifat sentral serta sistem normatif yang dapat diterima luas tidak tercipta. Tumpang tindihnya perbedaan ekologi sosial, kelas dan primordial menyebabkan amat sulitnya tercipta simbol-simbol dan norma-norma bersama. Belum lagi kedatangan Belanda dan Jepang menambah rumit pluralitas struktur masyarakat Indonesia (Ibid., 1997). Belanda memperparah struktur masyarakat menjadi lebih majemuk dan antagonis. Jepang memperlemah struktur kekuasaan dan administrasi masyarakat yang sebelumnya telah lama dapat memberi kontrol masyarakat. Dengan datangnya Kemerdekaan Indonesia dapat diartikan sebagai berakhirnya kekuasaan yang bersifat kohesif dari kolonialisme dan munculnya ke permukaan akan perbedaan-perbedaan primordial yang bersifat laten.

Negara-negara baru pada umumnya sering dihadapkan pada berbagai persoalan. Masalah-masalah umum yang dihadapi sebuah bangsa yang sedang berkembang termasuk Indonesia antara lain:

1. Nation-building: Berkaitan dengan “masa lampau” yakni adanya kemajemukan agama, suku budaya; bagaimana sekarang untuk dibentuk menjadi suatu “integrasi nasional”.

2. Stabilitas-politik: Berkaitan dengan realitas “masa kini” yakni selalu adanya suatu ancaman akan “disintegrasi bangsa”.

3. Pembangunan-ekonomi: Berkaitan dengan harapan “masa depan” yakni menuju kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana menjadi keinginan bersama yakni suasana masyarakat yang adil, makmur dan modern.

Ketiga permasalahan pokok tersebut masih terdapat di Indonesia. Terkadang masih muncul isu-isu federalisme, tuntutan kemerdekaan oleh kelompok separatis, sampai bentuk-bentuk krisis sosial, budaya dan ekonomi. Indonesia sebagaimana negara-negara berkembang lainnya tidak bisa menghindar dari pemenuhan kebutuhan akan ketiga dimensi: nation-building, stabilitas-politik, dan pembangunan-ekonomi. Clifford Geertz meringkas permasalahan menjadi dua yakni: permasalahan pencarian identitas yang diterima bersama; dan permasalahan tuntutan akan kemajuan, standar hidup yang meningkat, serta kondisi sosial politik yang semakin efektif dan adil. Permasalahannya berarti: bagaimana mempertahankan identitas tanpa menghambat kemajuan? Atau sebaliknya bagaimana mencapai kemajuan tanpa mengorbankan identitas? Inilah yang dapat disebut sebagai paradigma “identitas dan modernitas”.

         Identitas nasional Indonesia bukan sekedar dipertahankan tetapi selalu harus digali karena Indonesia adalah “negara baru”. Sebagaimana Sukarno telah mengemukakan pada tahun 1945 bahwa konsep “negara” atau “nation” Indonesia adalah konsep yang baru, dengan demikian cukup asing bagi bangsa Indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia sebelumnya telah lama terbiasa hidup dalam suasana paternalistik melalui suatu sistem pemerintahan kerajaan (Sukarno, 1964). Dengan demikian, Indonesia sekarang adalah suatu nasional baru yang terdiri dari banyak masyarakat lama.

Untuk mencari Identitas tidak boleh terlalu menekankan pada satu pihak, maksudnya jika terlalu condong kepada “kesatuan” maka identitas justru akan mengalami kesulitan untuk membuat rakyatnya memiliki komitmen secara emosional, namun jika terlalu menekankan pada “kemajemukan” juga akan terjadi kesulitan dalam pencarian komitmen dalam kiprah bersama. Dalam kerangka nasional, Pancasila tidak menindas perbedaan tetapi juga tidak membiarkan begitu saja sehingga menjadi wujud yang antagonis satu sama lain. Pancasila bisa jadi tidak mampu menciptakan integrasi sosial sepenuhnya tetapi paling tidak mampu meminimalisir potensi disintegrasi sosial (Darmaputera, 1997). 

           Identitas harus mampu memadukan dua unsur yang kontradiktif: tradisional dan modern. Istilah modern terlebih dulu harus dijernihkan sehingga jelas sejauh mana unsur-unsur modern yang dapat dipribumikan dan sejauh mana unsur-unsur tradisional yang dapat dimodernkan. Identitas harus mampu mengintegrasikan warisan-warisan tradisional sekaligus mampu mendorong ke arah kemajuan dan modernisasi. Pancasila dapat diterima karena sumbangannya yang positip memberikan ruang gerak kepada semua, bukan saja untuk mempertahankan identitas masing-masing tetapi juga masing-masing dapat menyumbangkan apa yang menurutnya berharga kepada bangsanya. Pancasila tidaklah menciptakan suatu sistem nilai yang sama sekali baru, melainkan menyesuaikan dengan etos dominan yang ada. Dalam Pancasila masing-masing kelompok adalah peserta penuh (Ibid., 1997).

           Musuh dan penghambat integrasi adalah “disintegrasi”. Empat dimensi yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya disintegrasi adalah:

1. Dimensi kultural: banyaknya perbedaan-perbedaan primordial maka akan menghambat masalah integrasi nilai.

2. Dimensi sosial: jika tidak terdapat kesepakatan aturan, jika kelompok-kelompok berpegang hanya pada aturan-aturannya sendiri maka akan menghambat masalah integrasi norma.

3. Dimensi psikologis: permasalahan tentang siapa yang berhak memimpin kendali terhadap lembaga-lembaga strategis, serta masalah gender dan SARA, maka akan dapat menghambat integrasi struktur.

4. Dimensi biologis: konflik tentang bagaimana sumber-sumber ekonomi dikelola, maka akan dapat menghambat integrasi kebutuhan.

Dalam konteks ini, satu dimensi bermasalah bisa mempengaruhi dimensi lainnya, apalagi jika semua dimensi bermasalah maka disintegrasi bangsa tentu sangat mungkin akan terjadi.

          Indonesia sebetulnya telah memiliki modal yang cukup kuat untuk mengarah pada integrasi yakni: memiliki bahasa nasional yang efektif diambil dari bahasa melayu dan diterima oleh bahasa-bahasa daerah, memiliki mayoritas agama yang relatif sama yakni Islam, kebanyakan bertumpu pada sistem pertanian dan hidup di wilayah-wilayah pedesaan, serta mayoritas penduduk adalah satu rumpun yakni Deutero-Melayu. Hanya menekankan kemajemukan juga akan memberi kesan gambaran sebuah masyarakat yang khaotik tanpa dapat memberi penjelasan mengapa dan bagaimana masyarakat seperti itu dapat bertahan dan bersatu. Pada sisi lain, hanya menekankan pada kesatuan akan menimbulkan kesan yang tidak baik karena hanya akan memberi kesan gambaran yang abstrak, yang menjauhi kondisi konkrit, sebuah gambaran masyarakat yang tidak dijumpai dalam kenyataan (Ibid., 1997).

        Masyarakat-masyarakat di berbagai belahan dunia  sedang menuju pada proses modernitas. Aksioma ini tidak dapat dibantah karena dalam kenyataannya tidak dapat satu orang pun menghindar dari tuntutan modernitas. Ciri masyarakat modern menurut Talcott Parsons adalah meningkatnya kemampuan adaptif terhadap lingkungan. Peningkatan kemampuan adaptif inilah yang merupakan daya tarik utama modernitas (Ibid., 1997). Masyarakat modern tidak sekedar seperangkat lembaga-lembaga modern akan tetapi merupakan bentuk integrasi baru baik kelompok elite maupun kelompok massa merasa diri sebagai anggota penuh masyarakat dengan sedikit banyak harga diri yang sama.

         Pancasila dengan demikian berperan sebagai pemersatu dari kebhinekaan Indonesia (Identitas) dan sebagai transformasi dari nilai-nilai lama menuju ke nilai-nilai baru yang lebih maju sesuai tuntutan jaman (Modernitas). Sumbangan berharga dari Pancasila adalah mampu mempertahankan baik kesatuan maupun kemajemukan Indonesia secara dinamis. Prasyarat penting bagi adanya suatu integrasi sosial adalah adanya kesepakatan tentang nilai (value consensus), yakni kesepakatan-kesepakatan mengenai asumsi-asumsi paling pokok atau hal-hal yang paling mendasar (Ibid., 1997). Suatu kelompok orang disebut sebagai masyarakat jika terdapat di dalamnya adanya suatu penerimaan umum oleh anggota masyarakat terhadap pola tingkah laku yang normatif. Kehidupan bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota masyarakat bersedia mematuhi dan mengikuti aturan yang telah ditentukan bersama.

 

* Diambil dari buku:  Soedarso, 2012, Filsafat Pancasila Identitas Indonesia, Penerbit Buku Pustaka Radja, Surabaya. Halaman: 6-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Bijaksana Hidup

Bila tanganmu terlalu pendek untuk bisa membantu, maka panjangkanlah lesanmu untuk selalu mendoakan yang terbaik (KB).   It isn't expert...